5 Misteri Besar Virus Corona Ini Belum Terjawab Meski Sudah 6 Bulan Mewabah
SerbaSerbi

Virus corona telah mewabah di berbagai belahan dunia selama 6 bulan. Namun, ternyata sampai sekarang ada 5 misteri besar seputar COVID-19 yang masih belum terjawab. Apa saja?

WowKeren - Sudah 6 bulan sejak virus corona (COVID-19) terdeteksi dan mulai mewabah menjadi pandemi di berbagai belahan dunia. Virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, Tiongkok ini telah menginfeksi lebih dari 12 juta orang di dunia, dimana hampir 550 ribu diantaranya meninggal dunia.

Sejumlah negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Brasil masih mencatatkan kasus COVID-19 dan angka kematian yang begitu tinggi. Melihat kurva penyebaran virus corona yang masih tinggi, akhir dari pandemi ini sendiri masih menjadi tanda tanya.

Dilansir jurnal ilmiah Nature, ada lima pertanyaan besar seputar virus corona yang belum juga bisa terjawab sejak enam bulan kemunculannya atau empat bulan sesudah ditetapkan sebagai pandemi. Berikut merupakan lima misteri seputar virus corona:

1. Mengapa Pengalaman Tiap Orang Berbeda Ketika Terinfeksi COVID-19?

Pasien Corona

Berbagai Sumber

Pertanyaan tersebut paling menjadi misteri dalam pandemi kali ini. Pasalnya, sebagian pasien yang terinfeksi virus corona dapat menunjukkan gejala yang begitu parah sedangkan yang lainnya banyak dengan status orang tanpa gejala (OTG) atau tidak menunjukkan gejala sehingga terlihat sehat.

Ahli Genetika dan Kepala Eksekutif DeCODE Genetics di Reykjavik, Kári Stefánsson menyatakan timnya sedang berusaha mencari varian gen manusia yang mungkin menjelaskan perbedaan ini. “Perbedaan dalam hasil klinisnya sangat dramatis,” kata Stefánsson seperti dilansir dari Nature, Jumat (10/7).

Salah satu dari varian terletak di wilayah genom yang menentukan golongan darah ABO, dan masih banyak faktor genetika lainnya. Tim yang dipimpin oleh Jean-Laurent Casanova, ahli imunologi di Universitas Rockefeller di New York City ini sedang mencari mutasi yang memiliki peran lebih besar. Mereka menyisir genom penuh dari orang-orang sehat di bawah usia 50 tahun yang pernah terinfeksi parah.

Hasilnya, pada kasus kerentanan ekstrem terhadap infeksi lain seperti tuberkulosis dan virus Epstein-Barr, patogen ringan yang menyebabkan penyakit kritis dan sering ditemukan mutasi dalam satu gen. Casanova yakin bahwa hal yang sama juga terjadi pada COVID-19.

2. Bagaimana Sistem Kekebalan Tubuh Bekerja Dan Berapa Lama Bertahan?

Penelitian menemukan bahwa kadar antibodi terhadap virus corona tetap tinggi selama beberapa minggu setelah infeksi. Semakin banyak virus yang menyerang akan manusia membawa juga semakin lama melindungi virus tersebut di tubuhnya.

”Semakin banyak virus, maka semakin banyak antibodi,” ujar Ahli Imunologi dari Francis Crick Institute di London, George Kassiotis. “Sehingga semakin lama mereka (manusia) bisa bertahan.”

Pola serupa bisa ditemukan dalam infeksi SARS (sindrom pernapasan akut yang parah). Kebanyakan penderita SARS kehilangan antibodi penawar setelah beberapa tahun pertama. Namun, Kassiotis mengungkapkan bahwa mereka yang benar-benar sakit parah masih memiliki antibodi ketika diuji ulang 12 tahun kemudian.

Meski demikian, hingga saat ini masih belum ada tolak ukur yang jelas bagi tubuh manusia yang berhubungan dengan kekebalan tubuh jangka panjang. Para peneliti masih mencari tahu bagaimana sistem kekebalan tubuh bekerja dan membandingkannya dengan respon terhadap virus serta berapa lama perlindungan itu bertahan.

3. Apakah Mutasi Virus Corona Semakin Mengkhawatirkan?


Virus Corona

Berbagai Sumber

Para peneliti meyakini jika setiap virus pasti akan melakukan mutasi seiring proses infeksi. Bahkan, kemampuan mutasi suatu virus sendiri telah dimanfaatkan oleh para ahli epidemiologi molekuler untuk melacak penyebaran virus.

Meski demikian, peneliti juga mencari perubahan yang mempengaruhi sifatnya. Sebagai contoh adalah terbentuknya garis keturunan virus baru, kurang ganas, atau menular.

“Itu adalah virus baru, jika memang menjadi lebih berbahaya, maka anda harus menyadarinya,” kata Ahli Biologi Komputasi di University of Glasgow, David Robertson. “Mutasi virus berpotensi mengurangi efektivitas sebuah vaksin yang telah diproduksi.”

Para peneliti sendiri masih berdebat apakah penyebaran satu mutasi dalam protein paku virus corona jenis baru jadi penyebab COVID-19 berubah produk dari founder effect. Founder effect sendiri merupakan perubahan konsekuensial terhadap biologi virus.

Kemungkinan virus corona bermutasi sendiri terjadi di Eropa pada Februari lalu. Serangkaian penelitian dengan sel yang dibiakkan di laboratorium menunjukkan bahwa mutasi pada protein itu membuat SARS-CoV-2 lebih menular, tapi tidak jelas bagaimana sifat ini diterjemahkan menjadi infeksi pada manusia.

4. Bagaimana Vaksin Corona Bekerja?

Vaksin dinilai menjadi kunci utama yang paling efekif untuk keluar dari pandemi. Saat ini, sudah ada sekitar 200 kandidat vaksin yang dikembangkan di seluruh dunia dimana 20 diantaranya sudah memasuki tahap uji klinis.

Salah satunya adalah vaksin yang dikembangkan oleh tim dari Oxford University. Petunjuk dari uji pada hewan dan uji coba manusia tahap awal adalah kadar infeksi genetik yang masih sebanding dengan yang tidak mendapat vaksin. Hal ini membuktikan bahwa vaksin hanya mencegah tahap kritis, namun tidak mencegah penyebaran virus.

Sedangkan uji coba pada manusia masih belum banyak dilakukan. Dari beberapa sampel menunjukkan bahwa vaksin yang sama mendorong tubuh membuat antibodi penawar yang kuat dan mampu memblokir virus dari sel yang yang menginfeksi. Namun masih belum jelas apakah kadar antibodi ini cukup untuk menghentikan infeksi baru, atau berapa lama molekul ini bertahan dalam tubuh.

Pengembangan vaksin virus corona sendiri tidak bisa terjadi dalam waktu singkat. Ahli Virologi dari Universitas Winconsin, Dave O’Connor mengungkapkan bahwa vaksin yang diciptakan mungkin berguna dalam 12 hingga 18 bulan ke depan, tapi masih harus terus dikembangkan.

5. Dari Mana Sebenarnya Asal Usul Virus COVID-19?

Vaksin Corona

Berbagai Sumber

Banyak peneliti sepakat bahwa virus corona baru berasal dari kelelawar, lebih spesifiknya kelelawar tapal kuda (rhinolophus affinis) dari Wuhan, Tiongkok. Keyakinan ini berdasarkan temuan genetik 96 persen identik dengan SARS-CoV-2.

Namun, tidak menutup kemungkinan jika virus corona berasal dari kelelawar tapal kuda di negara-negara tetangga termasuk Myanmar, Laos, dan Vietnam. Perbedaan 4 persen genom mewakili evolusi yang berlangsung selama beberapa dekade.

Itu artinya, virus ini sudah menyebar beberapa kali antar hewan sebelum masuk ke dalam tubuh manusia. Salah satunya adalah trenggiling. Untuk benar-benar melacak perjalanan virus sampai ke manusia, ilmuwan harus menemukan hewan yang menjadi inang dari virus itu dengan kemiripan genom 99 persen dari SARS-CoV-2.

(wk/lian)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait