Kurangnya Pengawasan Bikin Telegram Berkembang Pesat Jadi Ladang Disinformasi Ukraina
Unsplash/Christian Wiediger
Dunia

Dua hari setelah Rusia menginvasi Ukraina, muncul sebuah akun di platform Telegram yang menyamar sebagai presiden Volodymyr Zelenskyy yang memiliki 20.000 pengikut.

WowKeren - Di tengah pertempuran yang terjadi ketika dunia telah berada dalam kemajuan digital, salah satu tantangan yang muncul adalah berkembangnya disinformasi melalui media sosial. Seperti perang yang berkecamuk antara Rusia-Ukraina saat ini.

Dua hari setelah Rusia menginvasi Ukraina, sebuah akun di platform Telegram yang menyamar sebagai presiden Volodymyr Zelenskyy telah menghebohkan publik. Betapa tidak, akun itu mendesak angkatan bersenjatanya untuk menyerah.

Presiden pun segera angkat bicara. Ia menyangkal klaim di saluran Telegram resminya. Munculnya akun tersebut hingga menyebarkan perintah seperti itu menunjukkan bahwa disinformasi dapat dengan cepat menyebar tanpa melalui pemeriksaan pada aplikasi terenkripsi.

Akun palsu presiden tersebut telah memiliki 20.000 pengikut di telegram sebelum akhirnya ditutup. Oleksandra Tsekhanovska, kepala Grup Analisis Perang Hibrida di Pusat Media Krisis Ukraina mengatakan kepada AFP bahwa masalah akuntabilitas telah menjadi lagu lama di Telegram.


"Untuk Telegram, akuntabilitas selalu menjadi masalah," ujarnya. "Itulah sebabnya mengapa itu sangat populer bahkan sebelum perang skala penuh dengan ekstremis sayap kanan dan teroris dari seluruh dunia."

Telegram disebut-sebut memiliki 500 juta pengguna. Berita bohong sering menyebar melalui grup publik, atau obrolan, dengan efek yang berpotensi fatal. Penggunaan Telegram sebagai saluran siaran satu arah berarti konten dari akun yang tidak autentik dapat dengan mudah menjangkau audiens yang besar dan haus informasi.

Tsekhanovska mencatat bagaimana pesan palsu telah mendesak warga Ukraina untuk mematikan telepon mereka pada waktu tertentu di malam hari. Hal itu berkaitan dengan keamanan siber. "Seseorang yang menyamar sebagai warga negara Ukraina baru saja bergabung dalam obrolan dan mulai menyebarkan informasi yang salah, atau mengumpulkan data, seperti lokasi tempat penampungan," lanjutnya.

Emerson Brooking, seorang ahli disinformasi di Laboratorium Penelitian Forensik Digital Dewan Atlantik mengatakan, "Telegram terkenal longgar dalam kebijakan moderasi kontennya." Hal ini berbeda dengan Facebook dan Twitter, yang menjalankan program anti-disinformasi yang sangat publik.

(wk/zodi)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait