Rohingya Tuntut Facebook Rp2,1 Kuadriliun Karena Dianggap Memicu Ujaran Kebencian Myanmar
pixabay.com/Ilustrasi/LoboStudioHamburg
Dunia

Pengaduan itu diajukan di pengadilan California, yang mengatakan bahwa algoritme yang menggerakkan perusahaan yang berbasis di AS itu mempromosikan pemikiran ekstrem.

WowKeren - Pengungsi Rohingya telah menggugat raksasa media sosial Facebook. Mereka menuduh bahwa jejaring sosial tersebut gagal membendung ujaran kebencian di platformnya yang memperburuk kekerasan terhadap minoritas Myanmar yang rentan.

Tak tanggung-tanggung, nilai gugatan yang dilayangkan sangat fantastis yakni mencapai 150 miliar dolar AS atau sekitar Rp2,16 kuadriliun. Pengaduan itu diajukan di pengadilan California, yang mengatakan bahwa algoritme yang menggerakkan perusahaan yang berbasis di AS itu mempromosikan disinformasi dan pemikiran ekstrem yang diterjemahkan ke dalam kekerasan di dunia nyata.

Sebagaimana diketahui, kelompok mayoritas Muslim menghadapi diskriminasi yang meluas di Myanmar. Mereka dihina sebagai penyelundup meskipun telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi.

Kampanye yang didukung militer yang menurut PBB merupakan genosida membuat ratusan ribu orang Rohingya terpaksa harus pergi melintasi perbatasan ke Bangladesh pada tahun 2017. Sejak saat itu, mereka telah tinggal di kamp-kamp pengungsi yang luas.


Kendati demikian, masih banyak dari mereka yang tetap berada di Myanmar. Namun mereka yang di sini tidak diizinkan memiliki kewarganegaraan dan menjadi sasaran kekerasan komunal, serta diskriminasi resmi oleh militer yang merebut kekuasaan pada Februari.

Pengaduan hukum tersebut berpendapat bahwa algoritme Facebook mendorong pengguna yang rentan untuk bergabung dengan kelompok yang semakin ekstrem. Yang mana kondisi ini merupakan situasi yang "terbuka untuk dieksploitasi oleh politisi dan rezim otokratis."

Padahal sebelumnya, Facebook telah berjanji untuk meningkatkan upayanya memerangi ujaran kebencian di Myanmar. Perusahaan ini bahkan mempekerjakan puluhan orang yang berbicara bahasa negara tersebut. Namun, kelompok hak asasi manusia telah lama menuduh raksasa media sosial itu tidak berbuat cukup untuk mencegah penyebaran disinformasi maupun misinformasi online.

Sementara itu, para kritikus menuduh Facebook membiarkan kepalsuan berkembang biak. Raksasa media sosial itu juga dianggap telah mempengaruhi kehidupan minoritas dan Pemilu di negara-negara demokrasi seperti Amerika Serikat.

(wk/zodi)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait