Benny Wenda Tuntut Referendum, Pakar Hukum: Mustahil Di Hukum Internasional
Nasional

Pakar hukum mengatakan bahwa tuntutan referendum Papua yang digaungkan oleh tokoh separatis Papua Benny Wenda mustahil untuk dilaksanakan baik dilihat dari hukum nasional maupun internasional.

WowKeren - Konflik demonstrasi rasisme Papua yang dialami oleh Indonesia baru-baru ini sudah mereda. Presiden Joko Widodo pun sudah bertemu para tokoh Papua di Istana Presiden pada Selasa (10/9) untuk mendengarkan 10 aspirasi yang mereka ajukan. Meskipun begitu, aktivis separatisme Papua yakni Benny Wenda masih menggaungkan referendum untuk Papua.

Namun nampaknya referendum bagi masyarakat Papua hanya akan menjadi angan-angan saja. Pasalnya, saat ini referendum bagi Papua tidak didukung oleh hukum nasional maupun hukum internasional. Hal tersebut dipaparkan oleh seorang pakar hukum Universitas Diponegoro, Eddy Pratomo.

Eddy menjelaskan bahwa berdasarkan hukum internasional, referendum menentukan nasib sendiri hanya dapat dilakukan dalam dua konteks, yaitu kolonialisme dan wilayah yang masuk dalam daftar Wilayah Perwalian dan Non-Pemerintahan-Sendiri yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedua kategori tersebut tidak dimiliki oleh Papua.

Hal ini karena jika ditilik dari konteks kolonialisme, Papua sendiri sudah secara otomatis ikut merdeka dengan Indonesia ketika Sukarno membacakan proklamasi pada 17 Agustus 1945. Eddy menuturkan bahwa Papua secara otomatis menjadi daerah kekuasaan Indonesia berdasarkan prinsip Uti Possidetis Juris. Ini adalah prinsip penetapan batas-batas wilayah negara yang baru merdeka dari penjajahan dengan memastikan wilayahnya kembali.


"Papua sudah jelas tidak bisa masuk dalam daftar tersebut karena sama saja seperti memasukkan bayi ke dalam rahim ibunya lagi. Tidak mungkin, "tutur Eddy yang dilansir oleh CNN Indonesia. "Wilayah-wilayah koloni dulu itu kalau merdeka, itu harus wilayah yang batas-batasnya itu batas wilayah koloni, makanya Malaysia enggak masuk, Singapura enggak masuk, karena mereka bukan jajahan Belanda. Sehingga pada saat Indonesia merdeka, itu harus termasuk Irian Jaya, tidak boleh dipisah."

Pakar hukum tersebut lantas mematahkan anggapan sejumlah pihak yang mengatakan bahwa Papua tidak pernah mengakui proklamasi 1945 dan tidak ikut dalam perjuangan kemerdekaan RI. Kemudian, ia juga mematahkan argumen yang menyatakan bahwa Papua adalah bagian dari Belanda dengan nama Netherlands New Guinea berdasarkan konstitusi Belanda pada tahun 1898.

"Ini sangat mudah dipatahkan. Orang Batak, orang Padang, itu juga tidak pernah ada deklarasi mengakui proklamasi, tapi mereka bagian dari Indonesia berdasarkan prinsip Uti Possidetis Juris," kata Eddy. "Kami sudah meneliti, tidak ada yang menyebutkan itu dalam konstitusi 1898. Lagi pula, Indonesia merdeka tahun 1945. Pada waktu Indonesia merdeka, konstitusi yang berlaku di Belanda itu konstitusi 1938. Pasal 1 konstitusi itu menyebut Kerajaan Belanda termasuk Indonesia, tidak ada khusus Papua."

Eddy mengakui bahwa Belanda memang pernah memasukkan nama Netherlands New Guinea dalam konstitusi. Namun, Indonesia kemudian marah hingga akhirnya pihak internasional datang untuk menengahi. Hal tersebut berimbas pada dihapusnya keputusan tersebut pada 1963 karena ada Kesepakatan New York 1962. Eddy kemudian memaparkan syarat yang harus dipenuhi suatu wilayah untuk memisahkan diri berdasarkan hukum internasional.

"Ada dua syarat, harus ada konstitusi di negara induk dan mendapatkan pengakuan internasional," jelas Eddy. "Papua kalau memisahkan diri harus ada proses konstitusional, padahal undang-undang kita tidak mengatur pemisahan diri. Kalau mau ada, harus diubah UUD 1945."

(wk/wahy)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait