Pukat UGM Bongkar 5 Kejanggalan Dalam Kasus Penyiraman Air Keras Novel Baswedan
Nasional

Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakutas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) baru saja membongkar lima kejanggalan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.

WowKeren - Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakutas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) menyoroti kasus Novel Baswedan. Pasalnya, kasus tersebut menjadi kontroversi akibat Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya mengajukan tuntutan 1 tahun penjara bagi dua terdakwa yang menyiram air keras ke Novel.

Pukat UGM menilai jika ada banyak kejanggalan dalam kasus Novel, khususnya dari tuntutan yang diajukan JPU. Kini, Pukat UGM membongkar lima kejanggalan tuntutan yang diberikan jaksa kepada terdakwa:

1. Pernyataan jaksa bahwa tidak ada niat

Jaksa menilai jika kedua terdakwa tidak segaja dalam melakukan aksinya yang telah membuat mata Novel menjadi rusak. Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman lantas menyebut pernyataan Jaksa sebagai pemahaman hukum pidana yang keliru.

Pasalnya, terdakwa jelas-jelas terlihat merencanakan aksinya tersebut melalui tiga unsur rencana. Ketiga rencana tersebut adalah memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak, dan pelaksanaan kehendak dalam keadaan tenang.

”Tindakan terdakwa tidak semata-mata dikualifikasikan kesengajaan sebagai yang dimaksud,” kata Zaenur dalam keterangan tertulis seperti dilansir dari Kompas, Senin (15/6). “Melainkan juga kesengajaan sebagai kemungkinan.”

Zaenur juga menilai JPU salah dalam membangun argumen jenis-jenis kesengajaan. Terlebih, terdakwa terbukti telah melakukan pengintaian dan menyiapkan air keras terlebih dahulu sebelum penyiraman ke Novel.

2. Pasal yang dikenakan

Kejanggalan kedua adalah mengenai pasal yang dikenakan kepada terdakwa. Kedua terdakwa hanya dijerat dengan penganiayaan biasa seperti dalam Pasal 353 ayat 2 KUHP, padahal tindakan terdakwa tergolong penganiayaan berat.

”Penyiraman air keras ke tubuh Novel yang dilakukan oleh terdakwa merupakan penganiayaan berat yang berakibat timbulnya luka berat hingga kematian,” jelas Zaenur. “Bukan hanya penganiayaan biasa.”


Zaenur berpendapat jika seharusnya JPU menjerat terdakwa dengan pasal penganiayaan berat seperti diatur dalam Pasal 355 ayat 1 KUHP. Ia menjelaskan dalam konteks hukum pidana dikenal adanya kesengajaan yang diobjektifkan. Artinya, ada atau tidaknya kesengajaan dilihat dari perbuatan yang tampak.

3. JPU lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa

Kejanggalan ketiga adalah JPU sebagai pihak yang bertugas untuk membuktikan kebenaran materil dan keadilan justru terlihat memihak terdakwa. Hal ini terlihat dari bagaimana JPU lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa sebagai bukti.

Pukat UGM menilai hal ini semakin janggal apalagi, keterangan terdakwa sama sekali tidak disumpah sehingga memiliki hak ingkat. Jaksa juga dinilai dengan jelas mengabaikan adanya barang bukti lain yang lebih kuat seperti air keras dan rekaman CCTV.

4. Tuntutan tidak logis

Kejanggalan keempat adalah Jaksa dinilai telah mencederai hukum lantaran memilih opsi hukuman yang ringan. Padahal, JPU memiliki opsi menuntut terdakwa maksimal tujuh tahun penjara. Alil-alih mengambil pilihan itu, jaksa justru menuntut hukuman hanya satu tahun penjara.

Pukat UGM mengatakan jika hal tersebut bertentangan dengan adagium hukum restitutio in integrum, yaitu hukum seharusnya menjadi instrumen untuk memulihkan kekacauan di masyarakat. Tuntutan ringan itu juga berpotensi menimbulkan ketakutan kepada aparat penegak hukum lain yang berusaha menegakkan keadilan.

5. Aktor intelektual dan motif tidak diungkap

Kejanggalan tersebut adalah mengenai alasan terdakwa melakukan penyerangan. Terdakwa mengaku bahwa nekat melakukan aksinya lantaran tidak suka terhadap Novel karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Polri. Namun, Zaenur menyatakan jika motif tersebut tidak kuat.

”Berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta setidaknya terdapat enam kasus yang dinilai berpotensi menimbulkan balas dendam terhadap Novel,” papar Zaenur. “Meskipun demikian, hal tersebut tidak berhasil diungkapkan dalam proses persidangan.”

Zaenur memaparkan jika terdakwa selama ini tidak memiliki hubungan dan bertemu dengan Novel. Selain itu, Novel juga sama sekali tidak pernah menangani kasus korupsi saat menjadi penyidik KPK yang melibatkan terdakwa.

(wk/lian)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait