Pakar Khawatir Sidang Kasus Novel Sengaja Digagalkan Sejak Awal Karena Alasan Ini
Nasional

Proses peradilan kasus Novel ini lantas diduga memang dimaksudkan untuk gagal (intended to fail) sejak awal. Dugaan ini disampaikan oleh Direktur Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII Eko Riyadi.

WowKeren - Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan kini tengah mendapat banyak sorotan. Pasalnya, tuntutan 1 tahun penjara kepada kedua terdakwa penyerang Novel dinilai terlalu ringan mengingat penyidik KPK tersebut harus kehilangan penglihatan di salah satu matanya.

Proses peradilan kasus Novel ini lantas diduga memang dimaksudkan untuk gagal (intended to fail) sejak awal. Dugaan ini disampaikan oleh Direktur Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII Eko Riyadi.

Pernyataan Eko ini merujuk pada penelitian The International Center for Transitional Justice (ICTJ) yang menyebutkan sejumlah indikator tentang peradilan yang sengaja dibuat untuk gagal. "Jangan-jangan proses peradilannya itu adalah intended to fail sejak awal," ungkap Eko dalam diskusi webinar pada Rabu (17/6).

Meski sejumlah indikasi menunjukkan kegagalan tersebut, Eko berharap dugaannya ini keliru. Ia lantas menjelaskan 6 indikator yang menggambarkan peradilan dimaksudkan untuk gagal menurut penelitian ICTJ.

Yang pertama adalah jaksa gagal dalam membangun dakwaan. Eko menyebut bahwa kegagalan tersebut dapat dilihan dalam penyamaran fakta dan dokumen hukum.

Terkait kasus Novel, Eko membahas soal investigasi Komnas HAM yang tidak ditindaklanjuti jaksa di persidangan. Padahal salah satu temuan Komnas HAM menyatakan bahwa penyerangan Novel berkaitan dengan kerja-kerja pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukannya sebagai penyidik KPK.


"Dalam kasus yang dibawa peradilan sebenarnya ada banyak fakta yang terjadi di lapangan misal dilihat dari laporan Tim Investigasi Komnas HAM," jelas Eko. "Tetapi ada dugaan bahwa fakta-fakta yang memperkuat dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan itu memang sering kali disamarkan dan dokumen hukum tidak dibuka secara detail dalam proses peradilan."

Indikator kedua adalah proses peradilan gagal membangun logika hukum. Eko menduga bahwa peradilan kasus Novel dibuat untuk mereduksi ruang lingkup peristiwa yang akan mempengaruhi pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara.

Kemudian indikator ketiga adalah Kejaksaan Agung gagal menunjukkan spirit penegakan hukum yang kredibel. Dalam kasus Novel ini, Eko menduga bahwa Korps Adhyaksa tidak memberikan asistensi yang memadai.

Yang keempat adalah proses peradilan gagal membuktikan tanggung jawab komando atau command responsibility. Eko menjelaskan bahwa salah satu aspek penting dalam kejahatan kemanusiaan adalah perintah dari atasan dalam sistem hierarki komando.

Sedangkan persidangan kasus Novel dinilai mereduksi bahwa perbuatan penyiraman air keras adalah perbuatan individual. "Proses peradilan itu gagal membuktikan terjadinya command responsibility," tutur Eko.

Sementara itu, indikator kelima adalah proses peradilan gagal menunjukkan fungsi sebagai kebenaran atau truth function sehingga terjadi pelanggengan impunitas. Sedangkan indikator keenam adalah proses peradilan dikerangka dalam aktivitas politik yang membuat peradilan independen bisa dipertanyakan.

Dalam kasus Novel, Eko menilai bahwa aktivitas politik itu diperlihatkan lewat pengungkapan kedua pelaku pada waktu hampir 3 tahun sejak peristiwa terjadi. "Saya merasa ada ketelanjangan untuk memperdaya akal sehat dalam proses peradilan terhadap mas Novel," pungkas Eko.

(wk/Bert)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru