Jeritan Pasien Autoimun RI Berjuang Hidup Di Tengah ‘Chaos’ Corona
Getty Images
Nasional

Menjadi golongan paling berisiko fatal jika terkena COVID-19, begini perjuangan penderita autoimun di Indonesia untuk tetap bertahan hidup di tengah chaos pandemi.

WowKeren - Penderita autoimun menjadi salah satu golongan yang paling berisiko fatal jika terinfeksi virus corona (COVID-19). Hal ini disebabkan lantaran penyandang autoimun biasa harus meminum imunosupresan yang merupakan obat untuk menekan dan menurunkan sistem kekebalan tubuh.

Mereka membutuhkan minum obat tersebut secara rutin lantaran penyakit autoimun menyebabkan sistem kekebalan tubuh menyerang tubuh sendiri. Namun di tengah pandemi virus corona yang menghantam Indonesia, sejumlah penderita autoimun mengaku kesulitan mendapatkan obat-obat mereka.

Selama ini, banyak penderita autoimun yang juga mengkonsumsi obat anti-malaria seperti klorokuin dan hidroksiklorokuin. Sayang, obat tersebut semakin langka dan mahal di tengah pandemi karena telah dinyatakan sebagai salah satu obat untuk menyembuhkan pasien COVID-19.

Dampaknya, sejumlah penderita autoimun bahkan sampai mengalami kondisi kritis karena tidak mendapatkan obat yang mereka butuhkan. Salah satunya seperti yang dialami Fatimah Berliana Monica Purba atau yang akrab dipanggil Monik.

Monik terpaksa dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit di Kota Bogor, Jawa Barat karena serangan sesak napas pada awal Juni lalu. Sesak napas itu berasal dari penyakit autoimun yang dideritanya. Ia rupanya menderita dua jenis autoimun, Antiphospolipid Syndrome (APS) dan Sjogren's Syndrome (SS).

Sesak napas yang menyerang Monik itu bahkan membuatnya dalam kondisi kritis. Hal ini terjadi karena adanya pembekuan darah di paru-paru sebagai dampak dari penyakit autoimunnya. Beruntung, ia berhasil keluar dari kondisi kritis setelah mengkonsumsi pereda sakit dosis tinggi dan terapi relaksasi otot.

”Sjogren's Syndrome menyebabkan kerusakan sendi-sendi. Jadi otomatis saya itu perlu fisioterapi rutin seminggu tiga kali,” cerita Monik seperti dilansir dari BBCIndonesia, Selasa (30/6). “Terus saya punya autoimun APS yang menyebabkan saya mengalami kelainan darah. Darah saya itu mengental dengan tidak normal, akibatnya saya sudah terkena stroke yang sudah terdeteksi terjadi dua kali.”


”Nah, itu menyebabkan kelumpuhan, kelemahan separuh badan saya. Kebetulan kena otak kanan dulu, kemudian otak kiri,” sambungnya. “Otomatis perlu fisioterapi supaya saya bisa mengembalikan fungsi-fungsi syaraf saya yang rusak.”

Monik menceritakan jika kondisinya memburuk akibat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBN). Pasalnya, PSBB membuatnya terpaksa harus menghentikan fisioterapi, termasuk mengunjungi tim dokternya.

”Waktu PSBB dimulai, itu kan keluar anjuran bila kondisinya tidak emergency, kita tidak ke rumah sakit karena kita komorbid, yang memiliki faktor berisiko tinggi terpapar penyakit dan akhirnya bisa menularkan,” ungkap Monik. “Masalahnya, kondisi kami ini harus rutin maintenance.”

Monik mengaku sejak hidroksiklorokuin dan klorokuin diklaim sejumlah ahli sebagai obat penyembuh COVID-19, banyak penderita autoimun semakin putus asa. Pasalnya, banyak pihak yang memborong obat antimalaria tersebut sehingga pasien autoimun tidak bisa mendapatkannya dengan mudah lagi.

“Satu bulan sebelum pengumuman dari pemerintah (yang menyatakan) sudah mengimpor obat itu, orang beli kayak beli parasetamol dan apotek-apotek itu kehabisan,” jelas Monik. “Apotek main kasih (obat klorokuin), tanpa resep, tanpa indikasi apapun, dikasih. Mereka belinya berdus-dus. Apakah dijual lagi atau apa, itu saya tidak paham karena itu terjadi di depan mata saya sendiri.”

Semakin miris, Monik kerap menemukan dua jenis obat tersebut dijual bebas di internet dengan harga yang begitu mahal dan tak wajar. Satu dus klorokuin dengan dosis satu bulan dijual dengan harga Rp600 ribu sebelum pandemi menghantam. Tapi saat ini, harganya bisa mencapai jutaan rupiah.

”Jadi sekitar bulan April sudah chaos kita yang konsumsi hidroksiklorokuin dan klorokuin ini karena benar-benar kosong, habis dimana-mana. Tiap hari teman saya menelepon semua rumah sakit,” kenang Monik. “Bahkan ada yang tinggal di Papua bolak-balik telepon rumah sakit di Jakarta atau tanya teman-teman yang punya channel untuk obat. Sangat putus asa waktu itu karena kita gak bisa menolong apa-apa. Teman-teman mulai unggah (informasi di grup) ada yang jual bebas di internet.”

”Saya ngerinya, pertama, saya enggak tahu itu asli apa enggak, yang kedua harganya tidak masuk akal, benar-benar jahat yang jual. Biasanya satu kotak untuk sebulan itu Rp600.000,” sambungnya. “Kemudian, teman posting Rp 1,25 juta yang dia dapat. Itu sudah yang termurah yang dia dapat di internet. Kemudian teman saya yang lain, dapatnya Rp 2,5 juta. Tapi dia tidak ada pilihan, soalnya dia sudah enggak minum obat selama sebulan.”

(wk/lian)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait