Bikin Kisruh, Program Organisasi Penggerak Kemendikbud Dikritik Tak Tepat Sasaran
Nasional

Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud banjir kritikan dari sejumlah pihak. Salah satunya dari pengamat pendidikan dan pengajar di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Jimmy Paat.

WowKeren - Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) saat ini tengah menjadi sorotan lantaran sejumlah polemik yang muncul. Program yang digagas Mendikbud Nadiem Makarim ini dihujani kritik dari sejumlah pihak.

Bahkan program tersebut dinilai tak tepat sasaran dan rawan pemborosan karena menganggarkan Rp 567 miliar. Belum lagi, dari 156 ormas dan lembaga yang lolos seleksi Organisasi Penggerak, terdapat beberapa yayasan besar yang semestinya tak perlu ikut program pemerintah. Seperti Sampoerna dan Tanoto Foundation.

"Program ini belum berjalan, artinya lembaga yang lulus seleksi belum turun ke lapangan. Jadi menurut saya, masyarakat bisa mendesak agar program ini diberhentikan," ujar pengamat pendidikan dan pengajar di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Jimmy Paat dilansir Kumparan, Jumat (24/7).

Menurut Jimmy program ini terkesan terburu-buru dan sangat dipaksakan. Pasalnya, masih ada banyak lembaga lolos evaluasi yang legitimasinya patut dipertanyakan.

"Jangan kasih yang kayak gitu. Lah, itu pada ngikut-ngikut lagi. Yang sudah punya banyak duit, malah ikut," katanya. "Belum lagi ada lembaga-lembaga yang baru muncul."

"Kalau salah berangkat dari awal (Organisasi Penggerak), hasilnya sudah pasti terbayang. Dipaksakan, kok, ini," lanjutnya. "Mungkin ada beberapa yang memang rekam jejak program pendidikannya baik, seperti Tanoto dan Sampoerna, tapi kan mereka enggak perlu ikut lagi, bikin saja sendiri."


Jimmy menganalogikan Kemendikbud seperti kebijakan pemerintah pendahulu; penyakit lama timbul lagi. Jimmy menyebutnya dengan istilah 'tambal-sulam'.

Ia menilai jika Nadiem dan staf di Kemendikbud kembali menengok sejarah pendidikan Indonesia. Dulu, Indonesia pernah membuat program serupa, tapi selalu tidak efektif.

"Itu kan sudah dilakukan sebetulnya. Dulu zaman kemerdekaan sifatnya membuat program cepat, termasuk program cepat untuk menyelesaikan masalah (guru), jadi saat itu tidak berjangka panjang," jelasnya. "Misalnya, Sekolah Guru B untuk (guru) yang tamat SD (Sekolah Rakyat, red), yang tahun 50-an. Sekolah ditambah 4 tahun. Lalu dilanjutkan Sekolah Guru A (SGA, 1964), cukup lama berlangsung (untuk guru lulusan SMP dan SGB), sampai program itu hilang."

"Setelah dinilai tidak memecahkan persoalan sementara, SGA diubah menjadi SPG, lalu bubar, enggak ada lagi sekolah guru karena enggak memecahkan masalah, bubarlah sementara," imbuhnya. "Diploma lagi, D1, D2, sementara dibubarin lagi, itu tambal-sulam namanya."

Perlu diketahui, Program Organisasi Penggerak merupakan program pelatihan dan pendampingan bagi para guru untuk meningkatkan kualitas peserta didik dengan menggandeng banyak organisasi. Dari 4.464 ormas yang mengajukan proposal, terdapat 156 ormas yang lolos seleksi evaluasi.

Organisasi yang terpilih akan mendapat hibah untuk menunjang program makalah yang mereka ajukan. Kemendikbud membaginya menjadi kategori III yakni Gajah dengan bantuan maksimal Rp 20 miliar, kategori Macan sebesar Rp 5 miliar, dan Kijang Rp 1 miliar per tahun. Target program ini adalah dua tahun.

(wk/nidy)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait