Heboh Wacana Rombak UU ITE, Ternyata Pernah Direvisi 2016 dan Begini Hasilnya
Nasional

Presiden Joko Widodo memunculkan wacana revisi pasal-pasal karet UU ITE. Dan ternyata pada 2016 lalu UU tersebut sudah pernah direvisi juga, begini hasilnya.

WowKeren - Presiden Joko Widodo memunculkan wacana untuk merevisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada Senin (15/2) kemarin. Jokowi menilai beleid tersebut banyak digunakan masyarakat untuk saling melaporkan ditambah banyaknya pasal yang multitafsir.

Usulan ini pun disambut dengan beragam komentar dari masyarakat. Namun tahukah Anda kalau UU ITE sebenarnya bukan pertama kali ini direvisi? Sebab ternyata pada 2016 lalu UU ITE juga sudah pernah direvisi.

Dilansir dari Kompas, pada 2016 lalu, DPR RI mengesahkan UU Nomor 19 Tahun 2016 sebagai perubahan UU 11/2008 tentang ITE. Namun ternyata revisi kala itu tidak serta-merta mencabut pasal-pasal karet di UU ITE.

Pasal yang dianggap bermasalah antara lain Pasal 27 Ayat (1) soal kesusilaan, Pasal 27 Ayat (3) soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan Pasal 28 Ayat (2) soal ujaran kebencian. Untuk diketahui, ketiga pasal tersebut di UU 11/2008 terancam pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.


Namun nyatanya revisi pada 2016 silam tak memberi perbedaan banyak terhadap ketentuan pidana tersebut. Malah di UU 19/2016, ancaman pidana untuk pelanggar Pasal 27 Ayat (3) terkait penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dari paling lama 6 tahun penjara dan/atau Rp1 miliar menjadi 4 tahun penjara dan/atau Rp750 juta.

Kemudian revisi UU juga menentukan pidana soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik adalah delik aduan. Sedangkan ancaman pidana bagi pelanggar pasal kesusilaan dan pasal ujaran kebencian tetap paling lama 6 tahun penjara dan/atau denda Rp1 miliar.

Dengan revisi tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika kala itu Rudiantara meyakini tidak akan ada lagi kriminalisasi kebebasan berpendapat. Sebab dengan revisi yang ada, terutama di Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, yang kerap menimbulkan pro dan kontra, dapat memberikan kepastian pada masyarakat.

"Dengan revisi ini, tidak ada multitafsir. Karena tuntutan hukum dari maksimal enam tahun menjadi maksimal empat tahun," ujar Rudiantara pada 2016 silam. "Jadi tidak bisa ditangkap baru (kemudian) ditanya, karena semuanya harus ada proses. Lalu deliknya adalah delik aduan."

"Yang salah bukan Pasal 27 Ayat 3-nya, melainkan adalah penerapan dari Pasal 27 Ayat 3 tersebut," imbuh Rudiantara kala itu, dikutip dari Kompas, Rabu (17/2). Lantas bagaimana dengan rencana revisi kali ini? Belum ada kejelasan sebab sejauh ini wacana revisi seolah menjadi jalan terakhir karena diawali dengan penerbitan pedoman implementasi pasal multitafsir.

(wk/elva)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait