Bisa Picu Klaster Transportasi Umum, Ombudsman Kritik Keras Ganjil Genap Jakarta
Nasional

Ombudsman memberikan kritik keras terhadap terhadap kebijakan ganjil-genap yang diterapkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta lantaran dinilai membahayakan.

WowKeren - Kebijakan ganjil genap yang diterapkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di tengah pandemi virus corona (COVID-19) telah mendapatkan kritikan dari sejumlah pihak. Kebijakan ini dinilai justru dapat memicu ledakan kasus virus corona dan klaster baru.

Ombudsman Jakarta Raya mengamini berbagai kritikan itu. Menurut pihak Ombudsman, aturan ganjil genap selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi justru dapat memicu klaster penyebaran COVID-19 di lingkungan transportasi umum.

”Kebijakan Dishub DKI yang memberlakukan ganjil-genap pada hari Senin, 3 Agustus 2020,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh P Nugroho dalam keterangan tertulis, seperti dilansir dari Detik, Senin (3/8). “(Kebijakan ganjil genap) jelas mendorong munculnya klaster transmisi COVID-19 ke transportasi publik.”

Teguh menilai jika Pemprov DKI sangat tergesa-gesa dalam mengambil keputusan untuk menerapkan aturan ganjil genap semasa PSBB Transisi. Pasalnya, DKI Jakarta masih mencatat penambahan kasus virus corona yang cukup tinggi setiap harinya.

Pemprov DKI justru diminta untuk menerapkan kebijakan pembatasan jumlah pegawai di perkantoran. Ombudsman memaparkan dalam beberapa hari ini, klaster perkantoran memang seolah telah meledak akibat kebijakan PSBB Transisi menuju new normal. Oleh sebab itu, pembatasan jumlah pegawai di kantor dinilai lebih efektif menekan laju corona ketimbang aturan ganjil-genap.


”Pemberlakuan ganjil-genap di tengah kenaikan angka COVID-19 yang terus naik di Jakarta merupakan keputusan yang tergesa-gesa,” tegas Teguh. “Dan tidak memiliki perspektif yang utuh tentang kebencanaan.”

”Jadi yang harus dibatasi adalah jumlah pelaju yang berangkat dan pulang kerja ke Jakarta,” sambungnya. “Itu hanya mungkin dilakukan jika Pemprov secara tegas membatasi jumlah pegawai dari instansi pemerintah, BUMN, BUMD, dan swasta yang bekerja di Jakarta.”

Selain itu, Ombudsman juga mendesak agar Pemprov DKI mengkaji ulang aturan terkait jam kerja di perkantoran. Menurutn Tegus, aturan shift yang telah diterapkan Pemprov DKI tersebut memiliki rentang waktu yang pendek. Shift pertama diketahui mulai pukul 07.00-16.00 WIB dan shift kedua pukul 09.00-18.00 WIB.

Shift tersebut terlalu pendek dan itu yang menyebabkan para pelaju tetap berangkat kerja di jam yang sama dengan saat belum ada pembagian shift,” saran Teguh. “Hal yang sangat mungkin adalah memberi rentang waktu shift yang lebih panjang dengan jumlah jam kerja yang lebih pendek.”

”Misalnya shift pertama mulai pukul 07.00 WIB dan pulang pukul 14.00 WIB, sementara shift kedua mulai pukul 11.00 WIB dan pulang pukul 18.00 WIB. Kekurangan jam kerja bisa di kompensasi ke hari kerja, menjadi 6 hari kerja agar jumlah jam kerja satu minggu tetap terpenuhi.”

(wk/lian)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait