Pakar Ungkap Salah Ketik Omnibus Law UU Cipta Kerja Tak Bisa Dipidana
Nasional

Pakar hukum pidana Abdul Fickar menjelaskan bahwa kekeliruan berupa salah ketik tersebut tak dapat dibawa ke ranah hukum pidana salah satunya karena terganjal undang-undang.

WowKeren - Kekeliruan dalam naskah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berupa salah ketik alias typo dinilai tak dapat dibawa ke ranah hukum pidana. Hal ini disampaikan oleh pakar hukum pidana Abdul Fickar.

Menurut Abdul, kekeliruan tersebut tak dapat dibawa ke ranah hukum pidana salah satunya karena terganjal undang-undang. Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) Pasal 245 mengatur soal impunitas tersebut.

Selain itu, pasal 51 KUHP juga menjadi salah satu aturan yang mengganjal. "Tetapi jika ditemukan bukti anggota DPR terima suap dalam rangka mengganti pasal, bisa dituntut pidana korupsi," ungkap Abdul dilansir CNN Indonesia pada Senin (9/11).

Sebagai informasi, pasal 245 ayat (1) mengatur anggota DPR tak bisa dipanggil untuk pemeriksaan oleh aparat penegak hukum terkait kasus pidana tanpa seizin Presiden yang mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Kemudian di ayat (2), aturan pada ayat (1) tak berlaku jika anggota DPR tertangkap tangan melakukan pidana, menjadi tersangka kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara, serta menjadi tersangka pidana khusus.


Sementara itu, tutur Abdul, kesalahan dalam UU Cipta Kerja bersifat administratif politis. "Apakah pidana? Dalam konteks ini hanya bersifat administratif politis, kecuali bisa dibuktikan yang sengaja mengubah, mendapatkan atau memperoleh sesuatu yang bersifat ekonomis sebagai suap atau gratifikasi," jelas Abdul.

Hal senada juga disampaikan oleh pakar hukum pidana Chairul Huda. Menurut Chairul, kesalahan administratif dalam UU Cipta Kerja tak bisa diseret ke ranah hukum pidana. "Enggak bisa dipidana, itu kesalahan administratif. Enggak bisa (pidana)," ungkapnya.

Lebih lanjut, Chairul menjelaskan bahwa kesalahan administratif itu berimplikasi kepada cacat prosedur pembentukan perundangan-undangan. Hal tersebut hanya bisa di bawa ke mahkamah konstitusi (MK).

"Implikasinya UU itu cacat prosedur dan bisa dibatalkan di MK, karena ternyata banyak kesalahan dan prosesnya tidak sesuai dengan prosedur, bagaimana sudah ditetapkan oleh DPR, tapi belum ada naskah," pungkas Chairul. "Itu kan melanggar prosedur pembuatan UU dan membuat UU ini bisa dibatalkan."

(wk/Bert)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru