Ketua Satgas IDI Prof Zubairi Djoerban mengungkapkan bahwa dalam dua bulan terakhir, terjadi antrean panjang pasien COVID-19 yang hendak mendapatkan tempat tidur di rumah sakit.
- Bertilia Puteri
- Jumat, 06 Agustus 2021 - 17:01 WIB
WowKeren - Kasus kematian akibat COVID-19 di Indonesia kini telah menembus angka 100 ribu. Ketua Satgas Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Zubairi Djoerban lantas mempertanyakan alasan tingginya kasus kematian COVID-19 di Indonesia.
"Bisa saja angka sebenarnya itu jauh lebih tinggi. Apa yang membuat angka kematian begitu meroket ya?" cuit Zubairi di akun Twitter-nya, Jumat (6/8).
Zubairi lantas mengungkapkan bahwa dalam dua bulan terakhir, terjadi antrean panjang pasien COVID-19 yang hendak mendapatkan tempat tidur di rumah sakit. Kurangnya pasokan oksigen hingga isolasi mandiri yang kurang tertangani dinilai Zubairi membuat puluhan ribu pasien meninggal di bulan Juli 2021.
Menurut Zubairi, pihak rumah sakit kesulitan merawat pasien karena kekurangan stok oksigen dan terisi jauh melebihi kapasitasnya. Tenaga medis dan kesehatan juga disebutnya sudah kewalahan.
"Laporan dari lapangan, puskesmas dan pasien itu memang kesulitan menghubungi hotline rumah sakit. Mereka coba menghubungi namun tidak ada yang angkat," ungkap Zubairi. "Akibatnya, ambulans dari puskesmas tidak bisa jalan ke rumah sakit. Pasien pun tidak tertangani dan akhirnya meninggal."
Oleh sebab itu, Zubairi meminta layanan hotline rumah sakit untuk selalu dibuka dan direspons. Mengingat ambulans dari Puskesmas baru akan berangkat jika rumah sakit yang ditujunya telah memberi jaminan.
"Namanya hotline ya harus merespons, apapun kondisinya," lanjut Zubairi. "Paling tidak memberi informasi faktual saat itu."
Sebagai informasi, kasus kematian COVID-19 di Indonesia menembus angka 100 ribu sejak 4 Agustus 2021 lalu. Sejumlah media asing sempat menyoroti fakta menyedihkan tersebut.
Media Associated Press misalnya, menyebut Indonesia tengah berjuang dengan gelombang pandemi terburuk yang dipicu oleh varian Delta. Angka kematian COVID-19 yang dilaporkan tersebut juga diduga lebih sedikit dibanding kenyataannya.
(wk/Bert)