Kebebasan Medsos Era Jokowi Dinilai Memburuk, Polisi Diminta Lebih Selektif
Unsplash/Karolina/Kaboompics
Nasional

Mafindo menyarankan agar pihak kepolisian lebih selektif dalam melakukan pemidanaan terkait kasus hoaks dan bisa lebih fokus ke aktor intelektual di baliknya.

WowKeren - Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) meminta agar pihak kepolisian lebih selektif dalam melakukan pemidanaan kasus hoaks. Mafindo meminta agar polisi bisa lebih fokus ke aktor intelektual di baliknya.

Hal itu sebagaimana dikatakan oleh Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho. Pernyataan itu ia sampaikan menanggapi pernyataan SAFEnet yang menyebut kebebasan berekspresi masyarakat di ruang digital memburuk di tahun pertama Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

"Pemidanaan kasus hoaks memang harus sangat selektif," kata Septiaji dilansir CNN Indonesia, Kamis (22/10). "Melihat dari sisi dampak, itu pun prioritas adalah aktor intelektual."

SAFEnet menyebut jika polisi memukul rata misinformasi dan disinformasi sebagai hoaks. Padahal, jika kasusnya misinformasi, masyarakat tak memiliki tujuan apapun untuk menyebar informasi yang didapatnya di media sosial.

Masyarakat tidak tahu konten yang ia sebarkan mengandung informasi tak benar. Oleh sebab itu, Septiaji meminta agar polisi meneliti ada tidaknya motif kesengajaan.


"Sedangkan menyampaikan informasi salah, maka harus diteliti betul apakah ada motif kesengajaan, niat untuk menghasut, atau tidak," tutur Septiaji. "Karena salah informasi bukan berarti ia menyebarkan hoaks."

Lebih lanjut, Septiaji mengatakan jika perbedaan opini bagian dari kebebasan berpendapat. "Kasus perbedaan opini, bagian dari kebebasan berpendapat, yang dijamin oleh UUD," ujar Septiaji.

Alih-alih memidanakan warganet, polisi diminta untuk terlebih dahulu mengedepankan langkah mediasi. "Dan satu lagi, kita butuh menempatkan pemidanaan di langkah terakhir. Kalaupun ada sanksi, maka upaya mediasi layak didahulukan," kata Septiaji.

Hoaks kian meningkat di tengah pandemi COVID-29 dan juga polemik Omnibus Law. Ketidaktahuan publik mengenai pandemi disebabkan rendahnya literasi. Sementara itu, konten yang berlawanan dengan narasi pemerintah terkait Omnibus Law juga didefinisikan sebagai hoaks. Padahal bisa jadi konten yang dimaksud hanyalah sekadar pendapat atau kritik.

Hal senada sebelumnya disampaikan oleh Kepala Divisi Freedom of Expression SAFEnet, Ika Ningtyas. Menurutnya, akar permasalahan maraknya misinformasi karena minimnya literasi dan edukasi masyarakat.

(wk/zodi)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru