Permendikbud PPKS Dinilai Legalkan Zina, Aliansi BEM Se-UI: Untuk Lindungi Korban Kekerasan Seksual
Shutterstock/Harismoyo
Nasional

Permendikbudristek PPKS saat ini tengah disorot oleh sejumlah pihak lantaran dinilai melegalkan zina dan tidak berlandaskan nilai agama. Tetapi hal ini dibantah oleh Aliansi BEM se-UI.

WowKeren - Belakangan ini, sejumlah pihak menyoroti Peraturan Mendikbudristek Nadiem Makarim Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Sejumlah politikus DPR dan ormas Islam menilai bahwa Permendikbud PPKS itu melegalkan zina lantaran menerapkan konsep suka sama suka (konsensual) dan tidak dilandasi agama.

Akibatnya, Nadiem akan segera dipanggil oleh Komisi X DPR RI. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih.

Menanggapi polemik mengenai Permendikbud PPPKS, Aliansi Badan Eksekutif Mahasiwa se-Universitas Indonesia (BEM se-UI) mengatakan bahwa peraturan tersebut tidak dibuat untuk memperbolehkan seks bebas dan tidak bertentangan dengan nilai agama. Menurutnya, peraturan tersebut memiliki tujuan untuk melindungi setiap orang dari aktivitas seksual yang tidak diinginkan.

"Kehadiran persetujuan atau consent korban merupakan hal yang krusial untuk menentukan apakah suatu tindakan dapat digolongkan sebagai kekerasan seksual atau tidak," terang Aliansi BEM se-UI dalam pernyataan tertulis, Jumat (12/11).


Adapun Aliansi BEM se-UI ini menamakan kelompoknya sebagai Aliansi Kekerasan Seksual dalam Kampus se-UI. Aliansi ini terdiri dari seluruh unsur BEM yang ada di UI, yang juga ada HopeHelps UI (organisasi nirlaba antikekerasan seksual). Mereka membuat pernyataan sikap tertulis pada 11 November 2021.

Dalam pernyataan tersebut, Aliansi BEM se-UI turut menyayangkan adanya pihak yang menentang atau menolak Permendikbud PPKS tersebut. Kemudian, mereka juga memaparkan bagian dari definisi kekerasan seksual sebagai aktivitas yang tidak dilandasi oleh "persetujuan korban" ada pada Pasal 5 dalam Permendikbud PPKS.

"Ketika salah satu sifat dari consent tersebut tidak ada dalam suatu hubungan seksual, perbuatan tersebut dapat digolongkan menjadi kekerasan seksual," jelas Aliansi.

"Dengan demikian, mengingat persetujuan atau consent menjadi parameter untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai kekerasan seksual atau tidak, konsep consent menjadi sesuatu yang wajib diadopsi dalam peraturan mengenai kekerasan seksual yang dalam hal ini adalah Permendikbud-Ristek PPKS," papar Aliansi.

(wk/tiar)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru