Pakar Bongkar Dua Efek Negatif Soal RI Jadi Negara Pendapatan Kelas Menengah Atas
Nasional

Pakar membongkar dua dampak negatif yang perlu diwaspadai terkait Indonesia yang baru saja dinyatakan menjadi negara dengan pendapatan kelas menengah atas.

WowKeren - Bank Dunia baru saja menaikkan kelas Indonesia menjadi negara dengan pendapatan kelas menengah atas (upper middle income countries) di tengah pandemi virus corona (COVID-19). Namun, Indonesia justru diminta peneliti untuk mewaspadai dampak kenaikan kelas tersebut.

Sebelumnya Indonesia berada di posisi negara dengan pendapatan menengah ke bawah (lower middle income countries). Kenaikan kelas tersebut mendapatkan apresiasi dari Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan.

Pingkan mengatakan jika perubahan status tersebut dapat memberikan optimisme pemulihan ekonomi di tengah tekanan pandemi. Pasalnya, kenaikan kelas tersebut dinilai dapat mengembalikan dan menjaga tingkat kepercayaan investor, mitra dagang, termasuk mitra pembangunan atas ketahanan ekonomi di Tanah Air.

Meski demikian, Pingkan mengatakan ada dua efek negatif yang perlu diwaspadai pemerintah terkait perubahan status ini. Efek pertama adalah Bank Dunia akan menjadikan klasifikasi tersebut sebagai salah satu faktor rujukan apakah suatu negara dapat memenuhi syarat dalam mengakses fasilitas mereka atau tidak.

Salah satunya adalah terkait harga pinjaman (loan pricing). Hal tersebut juga akan dialami oleh Indonesia, dimana Bank Dunia akan menganggap Indonesia mampu membayar bunga pinjaman yang lebih tinggi.


”Dengan kenaikan status (kelas menengah ke atas), Indonesia dianggap mampu membayar bunga pinjaman dengan rate (suku bunga) yang lebih tinggi,” jelas Pingkan dalam keterangan resmi, seperti dilansir dari CNNIndonesia pada Rabu (8/7). “Hal ini tertentu memengaruhi biaya utang pemerintah.”

Efek kedua dari perubahan status Indonesia adalah terkait sejumlah mitra dagang di Tanah Air. Pingkan mengatakan kenaikan kelas itu dapat mendorong beberapa mitra dagang mencabut fasilitas perdagangan, salah satunya adalah Generalized System of Preferences (GSP).

Pingkan lantas mengingatkan jika Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu telah mencabut GSP di sejumlah negara. Padahal, fasilitas GSP selama ini telah memberikan keuntungan bagi sejumlah negara untuk meningkatkan produk lokal komoditas pertanian, perikanan, hingga tekstil.

“Jika negara-negara lain mengikuti langkah yang sama (seperti AS mencabut GSP) tentu akan memberatkan upaya ekspor Indonesia ke depannya,” kata Pingkan. “Terutama di tengah perlambatan ekonomi global saat ini.”

Saat ini, pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada kuartal pertama dilaporkan sebesar 2,97 persen atau meleset dari perkiraan Bank Indonesia (BI) sebesar 4,4 persen. Hal itu tidak terlepas dari dampak pandemi virus corona yang memengaruhi kegiatan ekonomi, konsumsi, produksi, investasi, hingga perdagangan internasional.

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua diprediksi sebesar 0,4 persen hingga 1 persen. Bahkan dalam skenario terburuk, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa diproyeksi minus hingga 3,8 persen.

(wk/lian)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru