Sri Mulyani dan DPR Sepakati RUU Pajak, Tax Amnesty Jilid II Siap Dimulai 1 Januari 2022
kemenkeu.go.id
Nasional

Menkeu Sri Mulyani dan Komisi XI DPR RI ternyata telah menyepakati RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang turut mengatur pelaksanaan program Tax Amnesty Jilid II.

WowKeren - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan DPR RI seolah secara diam-diam menyepakati Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP). Sebelumnya RUU HPP ini dikenal sebagai RUU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang turut memuat wacana mengubah besaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembako hingga jasa pendidikan.

Komisi XI DPR RI memutuskan untuk menyepakati RUU HPP tersebut pada Rabu (29/9) malam. "Kerja panjang nan melelahkan, tetapi sekaligus menyenangkan dan membanggakan sudah mendekati ujung. RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan dibawa ke Paripurna untuk disahkan menjadi UU," tutur Staf Khusus Menkeu Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, lewat akun Twitter-nya pada Kamis (30/9).

Terdapat beberapa hal yang diatur dalam naskah tersebut. Termasuk untuk kembali mengadakan tax amnesty alias pengampunan pajak mulai 1 Januari 2022 mendatang.

Sebagai informasi, pengampunan pajak kali ini merupakan jilid II. Pemerintah akan memberikan jangka waktu selama enam bulan, yakni sampai 30 Juni 2022, untuk par wajib pajak menyampaikan Surat Pernyataan terkait harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan sejak 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015 kepada Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu.

"Wajib Pajak mengungkapkan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) melalui surat pemberitahuan pengungkapan harta," demikian kutipan Pasal 6 Ayat (1) di RUU HPP, dikutip dari Kumparan. "Dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sejak tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022."

Sedangkan di Pasal 5 RUU HPP dijelaskan skema pelaksanaan pengampunan pajak jilid II. Berikut skema tarif tax amnesty selengkapnya:


a. 6% atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan ketentuan diinvestasikan pada:

  1. Kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI, dan/atau
  2. Surat berharga negara (SBN)

b. 8% atas harta bersih yang berada di dalam wilayah NKRI dan tidak diinvestasikan pada:

  1. Kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI, dan/atau
  2. SBN

c. 6% atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI, dengan ketentuan:

  1. Dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
  2. Diinvestasikan pada: a) Kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI; dan/atau b) SBN

d. 8% atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI, dengan ketentuan:

  1. Dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
  2. Diinvestasikan pada: a) Kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI; dan/atau b) SBN

e. 11% atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI dan tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI

"Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada Ayat (6) yakni sebesar jumlah harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan," imbuh Ayat (8) RUU HPP. Sedangkan harta bersih yang dimaksud adalah nilai harta dikurangi nilai utang, sebagaimana diatur di UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

(wk/elva)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait